Panji Darman dari Cibiru

Okay, malam ini saya puas dalam dua hal: makan ayam dan tertawa.
Kalau berdasarkan tagihan internet, maka saya sudah akan memasuki bulan keempat di Ciumbuleit. Waktu yang terasa sangat cepat berlalu.
Sedikit demi sedikit saya mulai paham karakteristik isi kontrakan mulai dari spektrum kewarasan 0 hingga akar -1. Tentu saja saya yang paling pendiam, memang alamiah saya seperti itu. Saya cuma sesekali saja menganjing-anjingi yang lain. Biasanya sih kalau sudah ada korban utama, saya baru nimbrung.
Malam ini sebenarnya sudah ingin cepat-cepat tidur karena baru saja muncul sebuah fakta baru yang membuat saya harus menimbang ulang apa yang sedang saya lakukan sekarang terkait urusan asmara. Antara tetap berusaha mendekati nona dari Padjajaran atau membiarkan anging mammiri (angin berhembus, bugis) begitu saja.
Mendongkel satu orang atau bersaing di alam terbuka dengan seisi dunia sebagai lawan. Tapi rasanya selama djanoer koening beloem melengkoeng, semua sah-sah saja.
Bodoh memang kalau harus merasa patah hati akibat seseorang yang berkenalan langsung saja belum pernah. Tapi yang namanya perasaan, selalu menjadi kerumitan dunia bagi saya dan selamanya tidak akan bisa mendapatkan penjelasan yang memuaskan.
Yang penting bagi saya sekarang adalah mengencangkan tekad kembali untuk segera lulus kuliah sambil merintis karir menjadi tukang cerita kehidupan orang lain dan saya. Kalau bahasanya Payung Teduh: bicara tentang yang bukan kita. Entah dengan siapa saya kelak bercengkrama seperti itu.
Ups. Intinya, saya barusan sempat terguncang sebentar setelah mendapati nona di sana itu sepertinya punya cowok dan moral saya sedang lelah menyaksikan perang pro dan anti vaksin yang berkobar di media sosial. Pembenaran yang selalu saya sempalkan kalau melihat yang demikian ngototnya seperti itu ada dua.
Yang pertama, orang tersebut mendapatkan uang dari sana. Yang kedua, itulah agamanya.
Ambil contoh pertarungan antara pasukan pro vaksin melawan anti vaksin. Sepengetahuan saya, banyak yang muslim. Setidaknya di lingkaran saya saja. Saya tahu posisi (baca: sikap) beberapa kawan yang sudah menjadi orang tua baik yang pro maupun kontra.
(((KALAU))) memang orang-orang ini meyakini Islam sebagai pedoman utama, saya beranggapan semestinya ya ini yang dikedepankan. Bukan malah menajamkan pandangan atau sekalian menghancurkan, menghakimi bahkan melepaskan ‘pertemanan’ (konsep yang aneh sebenarnya) di media sosial.
Media sosial ini juga sedikitnya menjadi racun. Ada yang keluar dari grup whatsapp langsung bermunculan banyak asumsi, ada yang menghapus pertemanan di dunia maya bakal dianggap bermusuhan, padahal itu kan maya alias semu alias tidak nyata.
Ayam yang dimakan dan tai yang dikeluarkan itu nyata.
Add friend, accept request, ip address, bandwidth, virtual machine, wi-fi, bukankah semuanya tidak nyata? Ah tapi tentu saja kita perlu bertanya kepada diri sendiri apa sih yang kita anggap nyata?
Di Islam, dunia ini adalah fana. Adalah semu. Adalah sementara. Adalah singkat.
Satu musuh terlalu banyak.
Mengutip omongan salah senior saya yang Senin kemarin menyampaikan gagasannya, sekarang zamannya kolaborasi. Justru yang harus digiatkan adalah mencari solusi bersama dari setiap dinamika hidup yang ada.
Tapi yah keimanan setiap orang dalam menyikapi perbedaan tidak sama.
Ada yang dangkal, ada yang lebih dangkal, ada yang sangat dangkal, ada yang terdangkal.
Ups saya jadi mengalir kemana-mana.
Oke. Kesimpulan kedua, tahan-tahanlah dirimu dari memberikan pandangan. Membela keyakinan masing-masing adalah keharusan tapi tidak lantas setiap yang berbeda pandangan lantas harus dibina(sakan).
Kemudian, malam ini. Seisi kontrakan (tidak juga sih, ada 4 orang yang terkapar di kamar masing-masing) ditraktir salah satu penghuni lama yang sedang kembali ke tanah air di sela masa studinya di negeri sakura.
14 orang makan ayam dan kentang di daerah Setrasari. Tempatnya di dalam komplek ruko di bilangan Setrasari. Ada yang minum minuman keras juga, yang terus terang sangat menggoda, tapi saya tak punya uzur untuk melanggar batasan yang ada. Seumur hidup saya cuma pernah mencoba tuak saat di Kalimantan.
Sambil makan, lebih tepatnya setelah ayam licin tandas kami semua mulai bercanda tentang kisah percintaan beberapa orang yang hadir.
Saya untungnya sudah paham beberapa bercandaan lokal (baca : kontrakan) sehingga tak butuh waktu lama untuk bisa ikut tertawa. Apalagi nalar sudah dilatih oleh beberapa penghuni yang kalau meminjam ungkapan penghuni lainnya, otaknya bocor setengah.
Beberapa candaannya memang akan sangat menyinggung perasaan bagi yang tidak mengerti. Tapi bagi saya itu cukup karena toh saksinya adalah Tuhan dan malaikat serta orang yang terlibat di pembicaraan. Bercanda di media sosial bagi saya semakin berat belakangan ini karena khawatir menyakiti perasaan orang lain yang saya belum tahu kapan bisa meminta maaf darinya.
Dan Tuhan menganugerahi kita mekanisme bernama lupa. Aturan yang berlaku di dunia maya, sekali dia di sana, selamanya akan terpatri. Konsep serupa memang ada di Islam, tentang amalan sebesar biji zarah diganjar sebesar itu juga. Bedanya, kita bisa lupa pernah membuat janji, lupa mengatakan sesuatu untuk berbagai alasan.
Di dunia maya, pencet printscreen dan kita akan bisa menyandera seseorang yang senang memutarbalikkan omongan.
Tentang usaha mencari jodoh dengan cara bermain api dan trik-triknya supaya bisa lancar. Siapa saja gadis yang sedang diincar, apa saja kebodohan-kebodohan yang pernah diperbuat di masa lalu diangkat kembali dan anehnya, tetap memancing gelak tawa yang ikut menyimak.
Puncak kelucuan tadi malam adalah ketika salah seorang penghuni menjadi bahan pembicaraan tentang nama samaran yang dipakainya untuk bermain api: panji.
Standar lanjutannya semua orang saya pikir tahu, manusia millenium yang biasanya diplesetkan jadi manusia aluminium.
Saya tidak ingat bagaimana urutannya hingga lantas si ‘panji’ ini tiba-tiba menyebutkan panji darman beberapa kali dengan nada yang seperti yakin bahwa semua orang tahu siapa panji darman yang ajaibnya lagi berasal dari Cibiru!
Salah seorang penghuni lain yang belasan tahun tinggal di Cibiru bilang dia sama sekali tidak pernah mengenal siapa itu panji darman.
Jam 2 kami tiba di kontrakan setelah puas mengisi perut dan terbahak-bahak.
Hanya tersisa saya dan dua orang lagi yang belum tidur. Sepertinya akan jadi dua sebentar lagi.
Thanks for the treat and for all the laughters tonight.

Leave a comment